Rabu, 13 April 2011

RETOK VILAGE

Desa Retok, adalah desa yang berada di kecamatan Kuala Mandor B, Kabupaten Kubu Raya yang dulunya masuk ke dalam daerah Kabupaten Pontianak. Desa ini terdiri dari beberapa desa diantaranya desa Bebantek, desa Retok Acin, desa Tembawang, Desa Sosor, dan desa Perigang. Jika ditempuh dengan perjalanan air, bisa memakan waktu kurang lebih 4 jam dari Pontianak. Ada 3 suku yang bermukim di desa ini, yaitu suku Madura sekitar 50% yang sebagian besar merupakan Transmigran dari Pulau Madura dan sebagian daerah sambas. Yang kedua adalah suku Dayak yang berkisar 40% yang merupakan suku asli di desa ini. Yang ketiga adalah suku tionghua berjumlah sekitar 10%, sebagian besar adalah pedagang di desa ini.
Di desa ini kita menemukan kehidupan bersama antara orang Dayak dan Madura berlangsung baik karena Adaptasi orang Madura yang demikian baik dengan penduduk lokal, berfungsinya mekanisme lokal adat Dayak dalam menyelesaikan konflik-konflik sosial di Desa tersebut dan didukung oleh kuatnya kharisma pemimpin lokal orang Dayak di desa tersebut.
Desa ini seperti desa pada umumnya, pekerjaan utama masyarakat adalah bertani dan menoreh. Tidak terlalu banyak variasi pekerjaan utama. Masyarakat masih terpaku dengan kebiasaan dan adat istiadatnya. misalnya di bidang pertanian, hasil dari bidang pertanian ini hanya untuk dikonsumsi sendiri padahal bisa dikembangkan dikarenakan kondisi alam yang menunjang, misalnya industry agrobisnis.Masyarakat menjadikan perkebunan karet sebagai mata pencaharian utama dan itupun masih dilakukan dengan tradisional, belum terlalu mengenal teknologi yang menunjang. Kebetulan harga karet sekarang cukup tinggi sehingga cukup membantu masyarakat untuk dapat menunjang hidup.
Potensi alam lain pun belum dieksplorasi dengan maksimal, misalnya saja sungai yang terbentang di desa ini. Sungai yang masih belum tercemar, selain itu didukung dengan peraturan pemerintah yang melarang peracunan air sungai (tuba) sebenarnya bisa dimanfaatkan untuk budidaya perikanan, tetapi tidak terlihat satupun tambak ikan atau sejenisnya. Selain itu sagu jjuga menjadi potensi yang belum dimaanfaatkan seutuhnya. Memang sudah ada daerah di kecamatan Kuala Mandor B yaitu desa Sungai Enau yang memproduksi tepung sagu dari sagu yang diperoleh dari masyarakat tetapi pengolahanya masih menggunakan cara yang sederhana.

Di Retok sendiri pengolahan sagu belum diekplorasi padahal jumlah komoditas sagu cukup banyak. Sebagai contoh, Tidak hanya tepung sagu yang dapat dimnfaatkan dari pohon sagu, limbah dari hasil panen pohon sagu bermacam-macam dan umumnya belum dimanfaatkan. Salah satu limbah tersebut adalah pucuk batang sagu (1-2 m). Limbah ini dapat menjadi tempat bagi kumbang merah kelapa (Rhynchophorus ferrugineus) untuk meletakkan telur.
Pertanaman sagu di Maluku umumnya berdekatan dengan tanaman kelapa, sehingga bila telur dalam limbah sagu tersebut menetas dan menjadi kumbang dikhawatirkan dapat menjadi hama pada tanaman kelapa. Larva kumbang merah kelapa dikenal sebagai ulat sagu.
Selain sebagai hama kelapa, kumbang tersebut juga merupakan hama pada tanaman palma lain, seperti sagu, kelapa sawit, enau, dan nipah. Kumbang biasanya hanya tertarik untuk meletakkan telur pada tanaman yang telah mati, bagian pohon kelapa yang luka, dan pucuk atang sagu sisa penebangan. Tanaman kelapa yang terserang kumbang ini ditandai dengan daun terkulai karena pangkal daun dimakan oleh larva. Berbeda dengan kumbang badak, kumbang merah kelapa juga menyerang tanaman kelapa yang masih muda, terutama bagian-bagian ang muda (Pracaya 2005).
Ulat sagu belum dimanfaatkan secara komersial. Namun, masyarakat Papua dan Maluku yang mengusahakan pengolahan sagu sebagai sumber pendapatan, memanfaatkan ulat sagu untuk dikonsumsi. Pada daerah-daerah dengan sumber protein hewani sulit didapat, ulat sagu dapat menjadi alternatif sumber makanan berprotein tinggi.
Di retok juga terdapat banyak hasil hutan seperti rotan. Rotan merupakan primadona hasil hutan non kayu karena mempunyai nilai ekonomis yang sangat tinggi, lebih dikenal secara umum untuk mebeler atau furniture, tetapi kenyataanya bagi yang menyenangi bahan dan produk dari rotan dapat digunakan hampir disemua segi kehidupan manusia seperti konstruksi rumah, isi rumah, perkantoran, jembatan, keranjang, tikar, lampit, tali, dll. Sampai ada istilah atau peribahasa (tidak ada rotan akarpun berguna).
Rotan merupakan sumber devisa yang sangat besar bagi negara karena Indonesia satu satunya negara terbesar penghasil rotan didunia, rotan sebagai bahan baku pabrik atau industri, home industri, sumber mata pencaharian dan meningkatkan tarap hidup dan perekonomian masyarakat, terutama masyarakat sekitar hutan.

Di desa Retok ini masih ditemukan adanya hutan adat. Hutan adat adalah kawasan hutan yang berada di dalam wilayah adat yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari siklus kehidupan komunitas adat penghuninya. Pada umumnya komunitas-komunitas masyarakat adat penghuni hutan di Indonesia memandang bahwa manusia adalah bagian dari alam yang harus saling memelihara dan menjaga keseimbangan dan harmoni. Penghancuran pranata-pranata adat dalam pengelolaan hutan adat secara sistematis lewat berbagai kebijakan dan hukum yang dikeluarkan Rejim Pemerintahan Orde Baru selama lebih dari 3 dasawarsa tidak sepenuhnya berhasil. Banyak studi yang telah membuktikan bahwa sebagian besar masyarakat adat di Indonesia masih memiliki kearifan adat dalam pengelolaan sumberdaya alam. Sistem-sistem lokal ini berbeda satu sama lain yang berkembang dan berubah secara evolusioner sesuai kondisi sosial budaya dan tipe ekosistem setempat.
Pada 17 Maret 1999, ratusan utusan komunitas-komunitas adat dari seluruh pelosok nusantara menghadiri Kongres I Masyarakat Adat Nusantara di Jakarta, sekaligus mendeklarasikan berdirinya sebuah organisasi masyarakat adat tingkat nasional yang mempersatukan gerakan masyarakat adat se-nusantara. Organisasi itu bernama Aliansi Masyarakat Adat Nusantara [AMAN]. Berdirinya AMAN sebagai organisasi gerakan masyarakat adat di nusantara tersebut menjadi tonggak awal kebangkitan masyarakat adat di seluruh Indonesia.
Dan momentum tersebut kini diperingati sebagai HARI KEBANGKITAN MASYARAKAT ADAT NUSANTARA. Pada momentum peringatan kebangkitan gerakan masyarakat adat kali ini, 17 Maret 2008, AMAN kembali memperingatkan para pengelola negara dan publik luas tentang ancaman terhadap eksistensi hutan adat. Hutan-hutan adat kini berada diambang kepunahan. Penyebab utama kepunahan dan kerusakan hutan adat ini adalah adanya Undang-Undang Kehutanan No. 41/1999.
Undang-Undang ini menjadi modal dasar pengerukan wilayah-wilayah dan hutan-hutan adat di Indonesia. Negara beranggapan bahwa hutan-hutan adat merupakan milik negara sehingga dapat digunakan (dieksploitasi) sebesar-sebesarnya untuk kepentingan segelintir orang atau kelompok. Sementara, Departemen Kehutanan telah gagal memenuhi harapan masyarakat adat untuk menjadi pelindung bagi hutan-hutan adat yang merupakan sumber kehidupan bagi masyarakat adat dan rakyat Indonesia umumnya. Berbagai bentuk praktek perijinan yang dikeluarkan seperti HPH, HTI, telah berkontribusi besar atas terjadinya pengrusakan sumber daya hutan, dan memicu memicu terjadinya berbagai bentuk bencana ekologi
Masyarakat adat, yang diperkirakan paling sedikit 30 juta jiwa di antaranya berada di dalam di sekitar hutan, adalah salah satu kelompok utama penduduk negeri ini yang menjadi korban politik pembangunan Rejim Orde Baru. Penindasan terhadap masyarakat adat ini terjadi baik di bidang ekonomi, politik, hukum, maupun di bidang sosial dan budaya lainnya. Kondisi ini menjadi demikian ironis karena pada kenyataannya masyarakat adat merupakan elemen terbesar dalam struktur negara–bangsa (nation-state) Indonesia. Namun dalam hampir semua keputusan politik nasional, eksistensi komunitas-komunitas adat ini belum terakomodasikan, atau bahkan secara sistematis disingkirkan dari proses-proses dan agenda politik nasional. Perlakuan tidak adil ini bisa dilihat dengan sangat gamblang dari pengkategorian dan pendefinisian sepihak terhadap masyarakat adat sebagai "masyarakat terasing", "peladang berpindah", "masyarakat rentan", "masyarakat primitif' dan sebagainya, yang mengakibatkan percepatan penghancuran sistem dan pola kehidupan mereka, secara ekonomi, politik, hukum maupun secara sosial dan kultural.
SMP negeri untuk kecamatan Kuala Mandor B juga sama memprihatinkannya. SMP negeri pertama terletak di Parit Cahaya Utara dibangun beberapa tahun silam. Belakangan dibangun SMP di Desa Sungai Enau yang kini memasuki tahun kedua dan SMP di Retok. Selama ini peran SMP swasta yang dikelola oleh warga setempat yang peduli dengan modal pas-pasan sangat besar. Diantaranya SMP Titi Raya di Retok, SMP Putera Budi Mas di Ampaning dan SMP Sriwijaya di Parit Sriwijaya. Sehingga untuk melanjutkan sekolah banyak anak-anak yang harus ke Pontianak yang fasilitasnya lebih memadai. Namun tentu saja dana menjadi kendala.
Kebanyakan dari tenaga pendidik disana adalah guru honor dan guru honor tersebut biasanya diambil dari penduduk sekitar yang dianggap memiliki kecerdasan lebih. Hal ini tentulah sangat tidak efektif untuk pendidikan kepada peserta didik. Kebanyakan mereka hanya sekedar mengajar, bukan mendidik. Mereka hanya sebatas menyampaikan apa yang mereka ketahui berkaitan dengan materi pembelajaran. Tidak seperti guru pada umumnya yang mengenyam pendidikan keguruan yang memiliki wawasan lebih serta tekhnik-tekhnik dalam pembelajaran sehingga siswa benar-benar menjadi cerdas.
Sarana dan Infrastruktur jalan juga sama. Masih jalan tanah, antar kampung satu dengan kampung lain tak ada jalan darat. Jika ingin berhubungan harus menggunakan kendaraan air. Mulai dari sampan, speed boat hingga motor air. Jika pun ada maka jalan tanah dan paling banter hanya rabat beton. Jalan agak memadai baru sampai di desa Mega Timur yang notabene ibukota kecamatan. Selebihnya dari Pontianak atau sebaliknya masih jalan tanah.
Jika hujan, becek dan tak dapat dilalui. Jika musim kemarau maka penuh debu. Padahal jika ditempuh dengan perjalanan darat akan sangat menghemat waktu. Dengan kondisi jalan yang kurang baik seperti yang telah dijelaskan dia atas saja saya bisa menempuh perjalanan sekitar 2 jam. Sungguh sangat disesalkan, Jarak yang tidak terlalu jauh dari perkotaan masih belum dapat merasakan pembangunan.
Dengan kondisi kehidupan seperti itu sangat mungkin warga juga marjinal akan kecanggihan tekhnologi. Jangankan warnet atau warung fotocopy, terkadang masyarakat masih belum tahu menggunakan alat-alat tersebut. Di tengah zaman modern ini masih ada kawasan yang belum bisa menikmati kemajuan teknologi berupa komputer atau bahkan mengenalnya padahal di daerah perkotaan, komputer sudah menjadi kebutuhan pokok (primer).
Demikianlah pemaparan saya tentang desa Retok di Kabupaten Kubu Raya ini. Perlunya perhatian pemerintah pusat serta pemerintah daerah sangat diharapkan. Pengembangan dan pembangunan infrastruktur dan kualitas pendidikan masyarakat perlu diperhatikan dengan baik untuk meningkatkan kualitas masyarakat di desa ini. Perlu adanya penyuluhan-penyuluhan guna meningkatkan pemahaman dan pengetahuan masyarakat di desa ini agar potensi-potensi alam yang ada dapat dieksplorasi dengan maksimal.